Sebuah Perkongsian

Hasil Karya Abu Muhammad Ahmad Humaizi Bin Din Mustafaha

  • Selamat Datang ke Blog Saya. Semoga Sebuah Perkongsian ini memberi manfaat kepada kalian semua. Semoga berguna di dunia dan di akhirat

    Terima Kasih Kerana Mengunjungi Blog Ini


Tujuan seorang da’e yang bermanhaj ahlul sunnah wal jamaah dan berittiba’ kepada manhaj ulama’ salaf adalah membaiki dan meluruskan umat manusia pada agama Allah, mengharapkan hidayah turun kepada manusia, dan juga untuk menunaikan kewajipan yang dibebankan kepadanya.

Tatkala tujuan ini menjadi titik sasaran yang selalu dicanangkan, maka seorang da’e yang benar akan bersikap bijak (sesuai ilmu) dalam perintah, perbuatan dan perkataannya. Begitu juga dalam mendudukan manusia sesuai kedudukan mereka. Masing-masing ditempatkan pada tempatnya dan kedudukan yang telah diberikan Allah swt atas mereka. Kemudian mendakwahi mereka dan hendaknya sang da’e mendatangi manusia dengan cara yang terbaik sehingga lebih menyentuh dan boleh diterima (dakwahnya – pent). Ahlul sunnah, para pengikut ulama salaf mempunyai jalan dan cara serta manhaj yang jita dalam mendakwahi penguasa (atau pemimpin – pent) dan kepada rakyat biasa. Cara-cara ini bertingkat-tingkat menurut kedudukan dan status mereka.

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang da;e demi keberhasilan dakwanya adalah mengerti dan mengetahui situasi dan kondisi onjek dakwahnya, kemudian menyesuaikan metode yang hendak dipergunakannya dengan situasi dan kondisi tersebut.

Perkara pertama yang wajib atas seorang da’e sebelum perkara lainnya, berkaitan dengan dakwah kepada seorang penguasa, adalah mentaati mereka seperti yang Allah swt perintahkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah r.h. berkata, “Nabi saw telah memerintahkan untuk mentaati para imam (pemimpin) yang bertauhid yang memiliki kekuasaan untuk mampu mengatur masyarakat.”[2].

Masyarakat akan sentiasa berada dalam kebaikan selama mereka memuliakan pemimpin dan para ulama, dan memberikan hak mereka. Jika masyarakat memuliakan pemimpin dan para ulama, maka Allah swt akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Sebaliknya, jika mereka mengabaikan keduanya, maka tentu akan menjadi rosak agama dan dunia mereka.

Penghormatan dan pemuliaan adalah hak seorang pemimpin dan ulama dan merupakan kewajipan masyarakat. Jika hal ini tidak dihiraukan dan dakwah berjalan tanpa aturan, maka dakwah akan berbalik menjadi fitnah dan malapetaka, bahkan boleh menjadi sumber kerosakan dan salah satu penyebab munculnya fitnah di tengah umat manusia.

Di antara manusia yang paling mengerti pokok ajaran ini adalah para ulama ahlul sunnah pengikut salafussoleh. Mereka telah menuliskan dalam kitab-kitab mereka bahawa menasihati ulil amri (pemimpin) yang melakukan kemungkaran tidaklah dilakukan dengan terang-terangan di hadapan orang ramai, tidak menghebahkan kesalahan mereka di atas mimbar-mimbar demi menjaga kemungkinan tmbulnya fitnah dan berkobarnya api dendam dan gejolak manusia. Menasihati mereka haruslah secara tertutup (tidak diketahui orang lain).

Di antara nas-nas yang menerangkan bagaimana bermuamalah dengan para pemimpin dan mengarahkan mereka kepada apa yang boleh membawa kemaslahatan (kepentingan) agama dan dunia (kehidupan) antara lain:

Firman Allah swt yang bermaksud, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(nya), dan ulil amri di kalangan kamu.” (An-Nisa : 59)

Hadis Ibnu Abbas r.a. “Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda (maksudnya); “Barangsiapa melihat para pemimpinya suatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar, kerana sesungguhnya orang yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal saja kemudian dia mati, maka dia mati dalam keadaan jahiliah” (HR Muslim)

Hadis Abdullah bin Mas’ud r.a., “Sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda; “Sesungguhnya akan terjadi atsarah (mementingkan diri sendiri) dan perkara-perkara yang kalian ingkari’
Kemudian sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan (kepada kami)?”
Lalu beliau bersabda “Kalian tunaikan apa yang menjadi kewajipan kalian dan kalian meminta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian” (Riwayat Muslim)

Hadis Abu Hurairah r.a. dia berkata, Rasulullah saw bersabda (maksudnya); “Hendaklah kalian selalu mendengar dan taat, baik dalam keadaan susah, senang, rajin, terpaksa, mahupun dalam keadaan tak diperhatikan.” (HR Muslim)

Hadis Khuzaifah bin Al-Yaman r.a., sesungguhnya Nabi saw telah bersabda kepadanya (maksudnya) ; “Dengan dan taatlah pemerintah walaupun dia menyiksamu dan mengambil hartamu. Dengar dan taatilah!” (HR Muslim)

Nas-nas ini menunjukkan dengan terang dan jelas manhaj ahlul sunnah dalam menghadapi para pemimpin dan menasihati mereka. Maka, tidak ada bekal yang harus dimiliki seorang da’e melainkan kesabaran dengan tetap mengikut cara yang diajarkan Nabi saw sebagaimana sabda beliau (maksudnya) ;


“Barangsiapa yang ingin memberi nasihat kepada pemimpin, maka janganlah dengan terang-terangan. Tuntunlah tangan-tangannya, lalu nasihatilah secara diam-diam (tak diketahui orang lain). Jika dia (pemimpin) menerimanya, itulah (cara yang tepat), tapi bila tidak, maka dia telah menunaikan kewajipannya” (HR Ahmad dalam Musnad, Disahihkan oleh Al-Albani dalam Ta’liq beliau 2/521)

Demikianlah jalan yang selamat dan manhaj yang benar ketika berhadapan dengan ulil amri (pemimpin) kaum muslimin. Menempatkan mereka sesuai jabatannya dan lemah lembut dalam menyampaikan nasihat.

Dalam masalah ini, Imam Asy-Syaukani r.h. berkata, “Seseorang yang mengetahui ketelodoran (kesilapan) seorang pemimpin, dia harus menasihatinya dan menegurnya, tetapi tidak di hadapan orang banyak”[3]

Metode mendakwahi pemerintah adalah dengan menaati mereka, mendudukannya sesuai posisinya, dan menasihatinya dengan lemah lembut. Metode ini lebih menyatukan masyarakat di bawah kendalinya, sehingga boleh menghindari terjadinya kekacauan dan pemberontakan, baik dalam bentuk perkataan mahupun perbuatan.

Para ulama dakwah menyatakan, “Ketika pihak pemerintah melakukan kemungkaran, namun belum mencapai tingkat kekufuran yang mengeluarkannya dari agama Islam, maka yang mesti dilakukan adalah menasihati mereka dengan lemah lembut dan sesuai tuntutan syariat. Dalam hal ini, mengikuti manhaj salafussoleh dengan tidak melecehkan dan menghina mereka di hadapan umum” [4]

Metode seperti ini termasuk prinsip yang banyak ditekankan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka – yang membahas masalah i’tiqad (keyakinan atau keimanan). Berbeza dengan orang-orang yang sudah tergelincir dalam masalah ini, yang mana pada akhirnya metode mereka menjadi bencana bagi Islam, dakwah dan kaum muslimin.

Hadis-hadis yang telah disebutkan memberi penjelasan tentang cara yang paling tepat dalam memberikan nasihat kepada para pemimpin. Hal ini sudah diterapkan oleh para sahabat Nabi saw kerana mereka mengetahui bahawa nasihat kepada penguasa adalah salah satu pokok ajaran Islam yang harus ditegakkan. Mereka memandang bahawa memakai cara selain itu bererti telah keluar dari dakwah Islam dan mengikuti metode orang-orang Khawarij.

Kita mesti mencermati sikap yang dipegang oleh Ibnu Umar r.a. Pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyyah, Ibnu Umar mendatangi Abdullah bin Muth’i untuk membicarakan kes Khawarij. Ketika beliau datang, Abdullah bin Muth’i berkata: “Berikan kepada Abdurrahman bantal sandarac.” Beliau berkata, “Aku datang ke sini bukan untuk duduk, namun aku hendak memberitahukan kepadamu sebuah hadis yang aku dengar lansung dari Rasulullah saw. Beliau bersabda (maksudnya) ;

“Barangsiapa yang melepaskan diri dari ketaatan kepada pemimpin, maka ia kelak bertemu Allah dengan tidam memiliki hujjah. Dan barangsiapa yang meninggal dunia, lalu dia tidak berbai’at kepada pemimpinnya, maka dia mati layaknya kematian jahiliah.” (HR Muslim)

Dan benarlah bahawa fitnah dan keresahan yang menimpa umat ini diakibatkan kerana mengabaikan perkara pokok yang agung ini. Hal ini pernah diucapkan oleh Ibnul Qayyim r.h.; “Barangsiapa yang mengamati berbagai fitnah yang pernah terjadi dalam Islam, baik besar mahupun kecil, pasti mengetahui sebabnya, yaitu mengabaikan pokok ajaran ini.[5]

Lebih dari itu, setiap golongan yang keluar dari jalan lurus ini dan berjalan di atas hawa nafsu selalu menimbulkan kerosakan yang lebih besar daripada kerosakan yang tadinya hendak dia berentas.

Bukanlah jalan para salaf bila berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi dan aturan-aturan hizbiyyah (kelompok – pent) lalu mengatas namakan dakwah.

Para salaf lebih bersih ketimbang harus mengikuti metode dakwah yang ditempuh oleh sebahagian kelompok yang sekarang ini gerakannya mengarah kepada hizbiyyah. Hati para salaf sangat suci ketika berhadapan dengan pihak pemerintah dan rakyatnya. Mereka berjalan di atas ushul yang dirintis salafussoleh mengikuti sunnah Rasulullah saw dalam membangun perbaikan dan istiqamah.





(Artikel ini diambil dari buku Pokok-pokok Dakwah Manhaj Salaf, Fawaz bin Hulail, Griya Ilmu, Indonesia)

Salinan semula oleh

Ahmad Humaizi
Taman Melati,
Lumut.


[1] Pokok-pokok Dakwah Manhaj Salaf, Fawaz bin Hulail, Griya Ilmu, Indonesia. Ms 99
[2] Minhajus Sunnah 1/115
[3] Sailul Jarrar 4/556
[4] Nashihah Muhimmah fi Tsalatsi Qadhaya
[5] I’lamul Muwaqqin

Categories:

0 Response for the "Adanya Perbezaan Antara Berdakwah Kepada Para Penguasa dengan Rakyat Biasa[1]"